Inthis chapter, there are 12 Ilmu Khotif, but let's only discuss the 5th Ilmu Khotif that is using Khodam Maimun because this is the simplest without the need for special incense such as musk Ilmu Khodam Malaikat Tentang ilmu khodam mungkin jadi pembahsan yang menarik apalagi untuk mereka pemerkhati dunia supranatural, khodam adalah istilah bahasa arab yang artinya pembantu, jika dalam Hingga
Syariat, Tarekat, Hakikat dan Makrifat Sufisme merupakan salah satu tradisi tasawuf yang berasal dari agama-agama dunia, khususnya Islam. Apa yang menjadi ciri khas dan karakter dari tasawuf ini adalah motif mereka dalam melakukan suatu pencarian mistik mystical quest dan oleh karena itu menjalankan perjalanan spiritual menuju Tuhannya Realitas yang sejati, absolut dan hakiki. Terkait dengan definisi Tasawuf sendiri, di sini penulis mengambil definisi dari Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara 2006 yang mengatakan bahwa Tasawuf adalah salah satu cabang ilmu Islam yang menekankan dimensi atau aspek spiritualitas, dan spiritualitas ini dapat mengambil bentuk yang beraneka di dalamnya. Karena keterkaitannya dengan agama yakni Islam, maka kebanyakan kaum arif[1] meyakini bahwa penamaan khusus kehidupan mistis direpresentasikan dalam gabungan antara syariโ€™at, tarekat tharรฎqah, dan hakikat haqรฎqah. Artinya, mencapai hakikat adalah dengan berpegang pada substansi agama dan hukum-hukumnya dengan memelihara lahiriah syariat.[2] Demikian pula yang diungkapkan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara 2006 bahwa tasawuf bukanlah sesuatu yang harus dipandang bidโ€™ah dalam kaitannya dengan ibadah syariโ€™at, melainkan sebagai pelengkap dan sekaligus hiasan bagi ibadah-ibadah formal kita sehari-hari, yang sering kita rasakan telah kehilangan makna spiritualnya. Dalam keterbatasan penulis di sini, penulis hendak membatasi makalah ini pada penjelasan mengenai gagasan sentral dalam sufisme Islam yakni mengenai 3 level perjalanan spiritual yang dikenal dengan Syariโ€™at, Tarekat, Hakikat yang dalam bahasa Inggris dikenal juga dengan istilah The Law, The Way and The truth. Di sini pun kami akan menambahkan makrifat maโ€™rifah yang juga dikatakan sebagai salah satu tahapan dalam melakukan perjalanan spiritual, serta akan mencoba secara sepintas memaparkan mengenai intergrasi antara level-level tersebut. BAB II PEMBAHASAN SYARIAT Syariat jika ditinjau secara bahasa berasal dari turunan kata ุดูŽุฑูŽุนูŽ โ€“ ูŠูŽุดู’ุฑูŽุนู โ€“ ุดูŽุฑู’ุนู‹ุง yang berarti membuat peraturan atau undang-undang.[3] Iyad Hilal dalam bukunya โ€œStudi Tentang Ushul Fiqihโ€[4] memberi definisi bahwa Menurut pengertian bahasa, istilah syariat berarti sebuah sumber air yang tidak pernah kering, dimana manusia dapat memuaskan dahaganya. Dengan demikian pengertian bahasa ini-syariat atau hukum Islam ini dijadikan sebagai pedoman sumber pedoman.[5] Dalam dunia tasawuf syariat adalah syarat mutlak bagi salik penempuh jalan ruhani menuju Allah. Tanpa adanya syariat maka batallah apa yang diusahakannya. Berkaitan dengan ini pemakalah mengambil pandangan Sirhindi mengenai syariat sebagai landasan tasawuf yang diambil dari buku โ€œSufism and Shariahโ€ yang ditulis oleh Muhammad Abdul Haq Ansari. Sirhindi menggunakan dua makna berkaitan dengan istilah syariat, yaitu makna umum yang biasa digunakan oleh para ulama yang berkaitan dengan penyembahan dan ibadah-ibadah, moral dan kemasyarakatan, ekonomi dan kepemerintahan yang sudah dijelakan oleh para ulama. Makna kedua, adalah pemaknaan yang lebih luas, yaitu, apapun yang telah Allah perintahkan baik secara langsung wahyu maupun melalui nabi-Nya itulah yang disebut syariat. Dengan pemaknaan tersebut maka syariat meliputi segala lini kehidupan. Syariat bukan hanya tentang shalat, zakat, puasa dan haji semata. Tapi lebih dari itu, syariat adalah aturan kehidupan yang mengantarkan manusia menuju realitas sejati. Syariat merupakan titik tolak keberangkatan dalam perjalanan ruhani manusia. Maka bagi orang yang ingin menempuh jalan sufi, mau tidak mau ia harus memperkuat syariatnya terlebih dahulu. Ada sebagian orang berpendapat bahwa syariat itu hanyalah titik tolak menuju makrifat dan ketika sudah mencapai hakikat maka ia terlepas dari syariat, karena menurut mereka syariat itu hanya untuk orang awam. Pandangan yang seperti ini ditolak oleh Sirhindi. Ia berpendapat bahwa antara syariat dan hakikat itu menyatu, tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Mereka yang menyatakan bahwa syariat berlaku untuk orang awam dan tidak bagi orang khusus, maka mereka telah melakukan bidah tersembunyi dan kemurtadan. Mereka yang lebih maju dalam sufisme membutuhkan ibadah sepuluh kali lipat ketimbang pemula; untuk perkembangan mereka tergantung pada pengabdian dan perolehan mereka dikondisikan atas keistikomahannya menaati syariat.โ€™[6] Adapun ketika seseorang mencapai kasyf penyingkapan, maka kasyf itu tidak bisa disejajarkan dengan wahyu. Dalam arti kasyf tidak menghasilkan produk syariat yang baru. Kasyf bisa membantu menguatkan keyakinan kebenaran syariat. Juga, dengan kasyf seseorang bisa mengetahui mengenai sunnah Nabi yang dianggap lemah oleh ulama padahal sangat dianjurkan oleh Nabi atau sebaliknya. Tapi tidak sedikitpun perolehan kasyf ini memproduksi syariat baru. The kashf of sufi may be right or it may be wrong.[7] Jika ide-ide yang didapat dari kasyf itu kontradiksi dengan syariat, maka ia dalam keadaan mabuk dan dianggap tidak benar. Berbeda dengan Sirhindi, menurut al-Ghazali wahyu yang didalamnya memuat syariat itu penuh dengan bahasa simbolik dan metafora, penafsiran terbaik adalah melalui kasyf, begitu juga dengan pandangan Ibn Arabi. Sehingga kasyf bisa disejajarkan dengan wahyu. Menurut hemat pemakalah, walaupun kasyf itu bisa menguak makna-makna dari wahyu, namun kedudukan kasyf hanyalah sebagai penguat apa yang ada dalam wahyu. TAREKAT Tarekat secara bahasa berasal dari kata ุงู„ุทู‘ูŽุฑูŠู’ู‚ู jamaknya ุทูุฑูู‚ dan ุงูŽุทู’ุฑูู‚ yang bermakna jalan, lorong atau gang. Kata tersebut diturunkan menjadi ุงู„ุทู‘ูŽุฑูŠู’ู‚ูŽุฉู yang bermakna jalan atau metode. Istilah tarekat ini menunjuk pada metode penyucian jiwa yang landasannya diambil dari hukum-hukum syariat. Semua muslim wajib menerapkan syariat, namun ada sebagian muslim yang hanya berfokus pada kewajiban-kewajiban ibadah dan ada sebagian lagi yang selain fokus pada kewajiban-kewajiban ibadah juga memperhatikan adab, akhlak, dan sisi batin dari syariat itu, yang sebetulnya semua itu sudah dijelaskan dalam syariat. Dalam Mystical Dimensions Of Islam, Annemarie Schimmel memberikan definisi tarekat yaitu โ€œThe tariqa, the โ€œpathโ€ on which the mystics walk, has been defined as โ€œthe path which comes out of the sharia, for the main road is called shari, the path, tariq.โ€ This derivation shows that the Sufiโ€™s considered the path of mystical education a branch of that high -way that consists of the God-given law, on which every Muslim is supposed to walk. No path can exist without a main road from which it branches out ; no mystical experience can be realized if the binding injunctions of the sharโ€™ia are not followed faithfully first. The path , tariqa, however, is narrower and more difficult to walk and leads the adeptโ€”called salik, โ€œwayfarerโ€โ€”in his suluk, โ€œwandering,โ€ through different stations maqam until he perhaps reaches, more or less slowly, his goal, the perfect tauhid, the existential confession that God is One.โ€[8] Definisi tersebut memberi gambaran bahwa tarekat adalah jalan khusus bagi salik penempuh jalan ruhani untuk mencapai kesempurnaan tauhid, yaitu maโ€™rifatullah. Jalan yang diambil oleh para sufi berasal dari jalan utama, syariat, dengan disiplin yang ketat sehingga terasa lebih sulit dibandingkan mereka yang tidak melakukan disiplin diri. Pada tataran syariat, kesadaran tentang kepemilikan pribadi begitu dominan, sehingga perlu adanya aturan untuk menata kehidupan bermasyarakat dalam keteraturan dan menghargai hak-hak pribadi, milikmu adalah milikmu dan milikku adalah milikku. Sedangkan pada tataran tarekat kesadaran tentang milik pribadi mulai luntur dan sikap mendahulukan orang lain lebih dominan, milikmu adalah milikmu dan milikku juga milikmu. Dan pada tingkatan makrifat kepemilikan hanya milik Allah. Dalam pandangan Sirhindi, tarekat adalah bagian dari syariat karena syariat punya tiga bagian, yaitu, pengetahun, tindakan, dan niat yang murni ikhlas. Setiap salik harus mengetahui apa yang diperintahkan dan dilarang oleh syariat baik ranah ibadah mahdah maupun muamalah. Ketika ia sudah mengetahui, maka ia wajib melakukannya dengan ikhlas, yaitu semata-mata perbuatan itu ditujukan hanya untuk Allah. Inilah aspek batin syariat. Inti tauhid adalah ikhlas, dan untuk mempraktekan ikhlas tidaklah mudah. Hal itu disebabkan karena manusia cenderung memenuhi tuntutan pribadinya ketimbang memenuhi apa yang sudah Allah perintahkan dan Allah larang. Selain itu manusia mudah terjebak dan diperbudak oleh hawa nafsunya. Maka diperlukan metode atau latihan-latihan untuk memantapkan ikhlas dalam setiap tindakannya mukhlis, sehingga ikhlas itu menjadi bagian dari dirinya mukhlas, metode itulah yang disebut tarekat. Tarekat memberikan tahapan-tahapan yang lebih rinci dalam mendaki tangga kesempurnaan tauhid. Tapi secara umum tahap pertama yang harus dilalui adalah tahapan taubat, yaitu berkomitmen untuk kembali kepada-Nya dengan melakukan apapun yang Dia syariatkan dan memurnikan tujuan dari tujuan-tujuan selain-Nya yang diakhiri dengan tahapan makrifat, ada juga yang mengatakan tahap mahabbah. Antara tahap taubat dan tahap akhir ada banyakan tahapan yang harus dilalui, namun intinya semua itu berawal dari ikhlas dan berakhir pada sikap rida sebagai buah pencapaian kesempurnaan tauhid. Secara umum ada tiga proses dalam tarekat untuk bisa sampai pada hakikat, yaitu mujahadah, riyadhah, dan muhasabah. Mujahadah artinya berjuang dengan sungguh-sungguh, berupaya secara gigih dan berusaha dengan giat dan keras melawan hawa nafsu dan berkonfrontasi dengan syetan, agar hubungan vertikal, horizontal, dan diagonal tidak terganggu.[9] Yang kedua adalah riyadhah. Riyadhah Olah Ruhani bisa dilakukan tanpa harus meninggalkan tugas dan kewajiban kita sehari-hari, serta tidak harus menghilangkan pemenuhan hak-hak kita terhadap diri, keluarga, dan masyarakat sosial.[10] Inti dari riyadhah adalah konsisten dan istikomah. Riyadhah bisa dilakukan dengan zikir, memperbanyak ibadah dan doa. Proses yang ketiga adalah muahasabah. Yang terakhir adalah muhasabah. Muhasabah adalah merenungkan dan menetapkan dengan membedakan apa yang tidak disenangi oleh Allah Azza wa Jalla dan apa yang disukai-Nya.[11] Bentuknya ada dua macam yaitu, yang telah lewat dan yang akan datang. Yang telah lewat dengan cara menilai apakah kita sudah menunaikan kewajiban-kewajiban yang Allah perintahkan dan apakah kita sudah mengabaikan hak-hak Allah? Sedangkan yang akan datang telah ditentukan oleh al-Qurโ€™an dan sunnah nabi. Cara terbaik dalam muhasabah adalah dengan mengingat mati yang kemudian menghasilkan khauf rasa takut dan rajaโ€™ harapan. Adapun tarekat dalam bentuk institusi baru muncul pada abad 11. Awalnya merupakan gerakan bersifat privat yang dilakukan oleh orang-orang yang sepaham pada awal-awal masa Islam, akhirnya tumbuh menjadi suatu kekuatan sosial utama yang menembus sebagaian besar masyarakat Muslim.[12] Kemunculan tarekat ini dikarenakan adanya hubungan antara mursyid-murid. Mursyid sebagai pembimbing yang mengarahkan murid yang dibimbing menuju hakikat sejati. Biasanya tarekat yang berkembang sekarang dinisbahkan pada mursyid tertentu yang dianggap punya metode tersendiri yang khas, seperti Suhrawardiyah diambil dari nama Abu Hafs as-Suhrawardi, Syazilliyah diambil dari Abul Hasan al-Syazili. Para pendiri tersebtu adalah para mursyid yang telah membuat kodifikasi serta melembagakan pengajaran dan praktik-praktik tarekatnya yang khas, meskipun pada banyak kasus reputasi mereka sebagai wali jauh melebihi lingkaran kelompoknya.[13] HAKIKAT Pengertian Hakikat Dalam Kamus Ilmu Tasawuf, dikatakan bahwa Kata Hakikat Haqiqah seakar dengan kata al-Haqq, reality, absolute, yang dalam bahasa Indonesia diartikan sebagai kebenaran atau kenyataan. Makna hakikat dalam konteks tasawuf menunjukkan kebenaran esoteris yang merupakan batas-batas dari transendensi manusia dan teologis. Adapun dalam tingkatan perjalanan spiritual, Hakikat merupakan unsur ketiga setelah syariโ€™at yang merupakan kenyataan eksoteris dan thariqat jalan sebagai tahapan esoterisme, sementara hakikat adalah tahapan ketiga yang merupakan kebenaran yang esensial. Hakikat juga disebut Lubb yang berarti dalam atau sari pati, mungkin juga dapat diartikan sebagai inti atau esensi.[14] Secara terminologis, kamus ilmu Tasawuf menyebutkan bahwa Hakikat adalah kemampuan seseorang dalam merasakan dan melihat kehadiran Allah di dalam syariโ€™at itu, sehingga hakikat adalah aspek yang paling penting dalam setiap amal, inti, dan rahasia dari syariโ€™at yang merupakan tujuan perjalanan salik. Hakikat juga dapat diartikan sebagai sebuah afirmasi akan eksistensi wujud baik yang diperoleh melalui penyingkapam dan penglihatan langsung pada substansinya, atau juga dengan mengalami kondisi-kondisi spiritual, atau mengafirmasi akan ketunggalan Tuhan.[15] Tokoh sufi lainnya, Ahmad Sirhindi, mendefinisikan hakikat sebagai persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik.[16] Sementara penafsiran Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara mengenai Hakikat adalah dari sudut pandang dimana banyak para sufi menyebut diri mereka ahl-haqiqahโ€™ dalam pengertian sebagai pencerminan obsesi mereka terhadap kebenaran yang hakikiโ€™ kebenaran yang esensial. Contoh salah satu sufi dalam kasus ini adalah al-Hallaj w. 922 yang mengungkapkan kalimat ana al-Haqqโ€™ Aku adalah Tuhan. Obsesi terhadap hakikat ini tercermin dalam penafsiran mereka terhadap formula la ilaha illa Allahโ€™ yang mereka artikan tidak ada realitas yang sejati kecuali Allahโ€™. Bagi mereka Tuhanlah satu-satunya yang hakiki, dalam arti yang betul-betul ada, ada yang absolut, sementara yang selainNya keberadaanya bersifat tidak hakiki atau nisbi, dalam arti keberadaannya tergantung kepada kemurahan Tuhan. Jika kita ingin menjelaskannya melalui analogi, maka hubungan antara Tuhan dan yang selainNya ini ibarat matahari. Dia lah yang yang memberikan cahaya kepada kegelapan dunia, dan menyebabkan terangnya objek-objek yang tersembunyi dalam kegelapan tersebut. Dia jualah yang merupakan pemberi wujud.[17] Pernyataan la ilaha illa Allahโ€™ ditafsirkan para sufi sebagai penafian terhadap eksistensi dari yang selain-Nya, termasuk eksistensi dirinya sebagai realitas. Hal ini tampak jelas pada konsep fanaโ€™ , atau fana al-fanaโ€™ yang merupakan ekspresi sufi akan penafian dirinya. Sedangkan konsep baqa adalah afirmasi terhadap satu-satunya realitas sejati, yaitu Allah. Fanaโ€™ dan baqaโ€™ ini dipandang sebagai stasionโ€™ maqam terakhir yang dapat dicapai para sufi. Inilah maqam yang paling diupayakan untuk dicapai oleh para sufi melalui metode tazkiyatun nafs, dengan menyingkirkan ego mereka yang dianggap sebagai kendala dari perjalanan spiritual mereka menuju Tuhan. Dengan begitu, ibadah mereka terbersihkan dari segala unsur syirik sebagai syarat diperkenankannya masuk kehadirat Tuhan. Rumi pernah berkata, โ€œLobang jarum bukanlah untuk dua ujung benang.โ€[18] Fanaโ€™ dan Baqaโ€™ sebagai ciri khas Hakikat Kita tentunya sudah mengetahui kisah mengenai salah seorang sufi, al-Hallaj yang dalam pengalaman mistiknya ia menyatakan Ana al-Haqqโ€™ yang berarti aku adalah Tuhan. Nah, pengalaman al-Hallaj inilah yang disebut dengan tauhid sufistik. Tauhid sufistik adalah ketika kalimat syahadat la ilaha illa Allahโ€™ tidak lagi kita artikan Tiada Tuhan selain Allahโ€™, melainkan Tidak ada realitas hakikat yang sejati kecuali Allahโ€™. Di sini dapat dipahami bahwa hanya Allah lah yang real, yang hakiki, sedangkan yang lainnya dalah semu. Pernyataan tiada yang Wujud kecuali Dia adalah pernyataan yang benar-benar diyakini dan dihayati sebagai suatu kenyataan yang tak bisa diragukan lagi. Dalam penghayatannya yang terdalam, seorang sufi bahkan akan kehilangan kesadaran akan dirinya. Inilah yang dimaksud dengan fanaโ€™. Setelah itu hanya kehadiran Tuhan lah yang ia rasakan, dan ia hidup dalam hadirat dan keberadaan Tuhan. Inilah yang disebut dengan baqaโ€™, saat ketika seorang sufi hanya akan merasakan keberadaan Tuhan, sebagai satu-satunya wujud yang hakiki. Adapun Hakikat, sebagai tujuan akhir, ditemukannya Kebenaran sejati, yang merupakan pengalaman personal yang sempurna mengenai tawhid, kesatuan dengan Tuhan, telah dideskripsikan dengan indahnya dalam sebuah sajak Persia, The true lover finds light only if, like the candle, he is his own fuel, consuming himself. Attar of Neishapur w. 1230 Yang kurang lebih dapat diterjemahkan sebagai, Pecinta sejati dapat menemukan cahaya hanya jika, ia seperti lilin, ia adalah bahan bakarnya sendiri, memakan dirinya sendiri. Sajak ini adalah merupakan salah satu pengalaman akan kesatuan dengan Tuhan. Adapun terjadinya kesatuan dengan Tuhan ini dapat dikiaskan dengan gambaran seekor ngengat yang diumpamakan sebagai jiwa manusia yang sedang terpesona saat berdansa dan berdenging di sekitar api lilin yang diumpamakan sebagai Kebenaran hingga akhirnya ia terbakar dan menjadi satu dengannya. Teoritikus Sufi pada awal abad ketiga telah memperkenalkan istilah-istilah teknis untuk menggambarkan tahapan-tahapan yang berbeda dari kiasan ini. Akan tetapi yang paling penting dalam pembahasan ini adalah konsep mengenai fana dan baqaโ€™. Istilah ini dalam literatur bahasa Inggris sering diterjemahkan sebagai annihilationโ€™, extinctionโ€™, atau cessation of beingโ€™, sedangkan Annemarie Schimmel mengindikasikan bahwa dalam bahasa Arab tidak ada kata kerja to beโ€™, dan mengacu pada istilah Jerman tradisional Entwerden, de- becomingโ€™, sebagai yang lebih akurat.[19] Nah, di sinilah para sufi berupaya untuk mencapai tingkatan ini dengan latihan-latihan meditasi ketat dan keadaan-keadaan tak sadar. Fanaโ€™ merupakan suatu proses menghalau realitas ego manusia, dan ketika proses ini selesai, maka baqa, sebagai urutan yang baru dan lebih dalam lagi pun terbangun โ€“ kelangsungan, kepatuhan, subsistensi dalam, kesatuanโ€™ dengan Tuhan. Konsep mengenai fanaโ€™ dan baqaโ€™ ini telah ditafsirkan sebagai kekhasan dari hakikat yang merupakan puncak tertinggi atau titik akhir dari tarekat, meskipun demikian tingkatan hakikat bukanlah tujuan akhir yang mudah untuk dicapai, jarang sekali orang-orang yang mampu mencapai pada level tersebut. Sufisme dalam Islam menyediakan sistem yang luas salah satu pengertian dari tarekat atas doktrin-doktrin dan latihan-latihan yang merupakan suatu metode untuk menjadi sebuah alat dalam menemukan Tuhan. [20] MAKRIFAT Pengertian Makrifat Sebelum mendefinisikan Makrifat baik secara etimologis maupun terminologis pertama-tama saya ingin mengutip beberapa definisi makrifat dari beberapa teoritikus yang menggunakan istilah hakikat sebagai yang mendekati istilah makrifat. Beberapa definisi yang saya ambil adalah sebagai berikut Ahmad Sirhindi mengatakan bahwa Hakikat dalam literatur sufi berarti persepsi akan realitas dalam pengalaman mistik; yang berbeda dengan pengertian realitas secara rasional yang dilakukan oleh para filosof, pada satu sisi, dan keyakinan/iman pada orang-orang awam, pada sisi yang lain. Pengertian ini selalu diganti dengan istilah makrifat; Tyll Zybura dalam essaynya menyebutkan bahwa ketika seorang Muslim telah menguasai syariโ€™at, maka tokoh sufi mengatakan bahwa, ia dapat mengikuti thariqah dari mistik, dan jalanโ€™ yang mengantarkan pada pengetahuan yang lebih tinggi dan mungkin pada akhir dari jalan ini akan menemukan Hakikat, kebenaran, atau makrifat, gnosis. Karena keterbatasan akan pemahaman saya dalam menganalisa posisi antara makrifat dan hakikat, atau meninjau perbedaannya dari segi sudut pandangnya, maka saya akan memulai pembahasan makrifat ini dengan mengutip salah satu perkataan Rumi mengenai makrifat yang dipahami sebagai suatu stasion atau keadaan state, First there is knowledge. Then there is asceticism. Then there is knowledge that comes after that asceticism. The ultimate knowerโ€™ is worth a hundred thousand ascetics. Jalal al-Din Rumi[21] Perkataan Jalal al-din Rumi dipahami bahwa pertama-tama ada pengetahuan. kemudian ada asketisisme. Kemudian ada pengetahuan yang datang setelah asketisisme tersebut. Meskipun penulis masih terbatas dalam memahami, menganalisis, maupun menafsirkan syair di atas. Akan tetapi, berhubungan dengan makrifat yang dimaksud Rumi, maka saya beranjak pada makna makrifat itu sendiri secara etimologi maupun terminologi. Dalam kamus ilmu tasawuf dikatakan bahwa Makrifat berasal dari kata arafa, yuโ€™rifu, irfan, maโ€™arifah, yang artinya adalah pengetahuan, pegalaman, atau pengetahuan ilahi. Secara terminologis dalam kamus ilmu tasawuf, Makrifat diartikan sebagai ilmu yang tidak menerima keraguan atau pengetahuan. Selain itu, Makrifat dapat pula berarti pengetahuan rahasia hakikat agama, yaitu ilmu yang lebih tinggi daripada ilmu yang didapat oleh orang-orang pada umumnya. Sedangkan menurut para sufi, makrifat merupakan bagian dari tritunggal bersama dengan makhafah cemas terhadap Tuhan dan mahabbah cinta.[22] Ketiganya ini merupakan sikap seseorang perambah jalan spiritual thariqat. Makrifat yang dimaksud di sini adalah pengetahuan sejati. Gagasan mengenai adanya konsep makrifat dimunculkan pertama kali oleh Dzu al-Nun al-Misri. Menurutnya makrifat ada 3 macam[23] Pertama, makrifat kalangan orang awam orang banyak pada umumnya, tauhid melalui syahadat. Kedua, makrifat kalangan ulama dan para filsuf yang memikirkan dan merenungkan fenomena alam ini, mereka mengetahui Allah melalui tanda-tanda atau dalil-dalil pemikiran. Ketiga, makrifat kalangan para wali dan orang-orang suci; mereka mengenal Allah berdasarkan pengalaman kesufian mereka, yakni mengenal Tuhan dengan Tuhan. Inilah makrifat hakiki dan tertinggi dalam tasawuf. Dan makrifat inilah yang hendak dibahas dalam makalah yang singkat ini. Sebelumnya kita telah mengetahui mengenai 3 tingkatan dalam perjalanan menuju Tuhan. Tiap tingkat dibangun berdasarkan tingkatan sebelumnya. Syarat pertama adalah mengambil dan mengikuti syariโ€™at, hukum Allah untuk kehidupan manusia, yang pada waktunya akan membawa seseorang ke sirat al-mustaqim, yaitu jalan agama yang lurus. Jalan ini membawa seseorang ke dalam hakikat kebenaran akhir yang tak terbantahkan dan mutlak tentang seluruh eksistensi. Dalam kaitannya dengan makrifat, bahwa semua pengetahuan tersembunyi ada pada alam hakikat. Ketika seseorang mencapai pengetahuan tentang kebenaran Tuhan maka ia memasuki suatu tahap yang disebut makrifatโ€™ pengetahuan.[24] Dari perbincangan para sufi, dapat dipahami bahwa pada intinya makrifat sangat terkait dengan keterbukaan mata batin, yang memungkinkan melihat Tuhan atau melihat penampakan Tuhan. Keterbukaan mata batin sangat terkait erat dengan kesucian batin itu sendiri, sedangkan kesucian batin yang prima, bagi selain para nabi, adalah sesuatu yang harus diusahakan dengan usaha keras dalam waktu yang panjang.[25] Baik lewat meditasi, tazkiyatun nafs maupun latihan-latihan lainnya yang berkaitan dengan pencarian mistik. Zybura dalam esainya mengatakan bahwa selain dari 3 tingkatan yang telah dideskripsikan dalam pencarian menuju kesatuan dengan Tuhan, ada lagi tahapan-tahapan yang lebih banyak yang secara umum dibedakan sebagai stasion station/ maqam. Pencapaian pada tiap maqam tergantung kepada perbandingan dari anak tangga-anak tangga yang kita daki dengan upaya kita sendiri, dan kondisiโ€™ state/ahwal sendiri merupakan hadiah dari Tuhan yang lebih sulit lagi untuk diklasifikasikan.[26] Untuk lebih jauh membahas mengenai makrifat ini, penulis memilih untuk memaparkannya melalui penjelasan yang diuraikan oleh Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara. Pengetahuan Sejati dan Perbedaannya dengan Ilmu Pengetahuan Yang dimaksud dengan makrifat sebagai pengetahuan sejati/hakiki tidak sama dengan ilm yang kita ketahui sebagai ilmu pengetahuan. Pertama-tama yang membedakannya adalah cara perolehannya dimana ilmu pengetahuan diperoleh secara hushuli melalui mediasi/representasi, tidak secara langsung. Sementara makrifat diperoleh secara hudhuri, langsung hadir dalam intuisi manusia dan dialami secara langsung. Perbedaan lainnya terletak pada objek dari pengetahuan itu sendiri. Adapun objek dari ilmu pengetahuan adalah objek-objek yang bersifat fisik, sementara objek dari makrifat kebanyakan bersifat non-fisik. Secara rincinya, Prof. Dr. Mulyadhi Kartanegara menguraikan perbedaan antara keduanya dalam tabel berikut, Dari segi objek, meskipun ilmu-ilmu rasional juga sama-sama menangkap maโ€™qulat, sebagaimana intuisi, tetapi cara di antara keduanya berbeda. Sementara akal menangkap objek-objek non-fisik melalui objek-objek yang telah diketahui, jadi bersifat inferensial, intuisi menangkap objek-objeknya langsung dari sumbernya, apakah Tuhan atau malaikat, melalui apa yang dikenal sebagai penyingkapanโ€™ mukasyafah atau penyinaranโ€™ iluminasi dan penyaksianโ€™ musyahadah. Penyingkapan ini bisa terjadi dalam keadaan jaga atau mimpi, dapat mengambil bentuk ilham atau wahyu, atau terbukanya kesadaran hati akan kenyataan yang selama ini tersembunyi demikian rapat.[27] Secara sederhana Mulyadhi Kartanegara memberikan analogi mengenai bahwa kepastian intuitif yang dimaksud di sini adalah pengalaman yang dialami secara langsung laksana orang yang mengetahui manis dengan mencicipi butiran gula. Kita tidak dapat mengetahui rasa manis melalui pengkajian akan definisi atau konsepsi mengenai manis. Atau pun melalui membaca buku-buku tebal yang menjelaskan mengenai rasa gula maupun asal usul gula. Selama apa pun kita pelajari semua itu selama lidah kita tidak merasakannya sendiri maka kita tidak akan pernah mengetahui rasa manis yang sebenarnya. Karena manis tidak bisa kita ketahui melalui rangkaian huruf dari kata Untuk mengetahui manis maka kita harus mendatangi yang empunya manis itu sendiri gula, dan merasakannya sendiri secara langsung. Kesatuan pengetahuan dan yang diketahui dijelaskan dengan ilmu hudhuri bahwa objek diketahui secara langsung setelah dihadirkan dalam kesadaran jiwa seseorang. Ketika objek hadir dalam kesadaran diri maka objek itu dapat teridentifikasi dengan diri sendiri, ketika itu terjadi maka objek-objek itu menjadi dirinya, maka keintiman pengetahuan itu kini sama dengan terhadap diri sendiri, sementara pengetahuan tentang diri sendiri dapat kita ketahui secara langsung tanpa harus ada pemilahan antara subjek dan objek. Maka dalam pengetahuan tentang diri sendiri terdapat kesamaan antara yang mengetahui, pengetahuan, dan yang diketahui, karena ketiga pemilahan ini merujuk pada entitas yang sama dan satu diri kita sendiri. Makrifat juga diandaikan seperti cahaya barakah Tuhan yang membersit ke dalam hati dan meliputi segala daya manusia dengan sorotan-sorotan yang menyilaukan. Bagai kaca yang bersih dan selalu dibersihkan sehingga kemudian cahaya mampu memasukinya dan menerangi jantung rumah dan beriluminasi menerangi semua yang tersembunyi/ tak nampak. Analogi Rumi Makrifat bagai Mutiara di Dasar Laut Jalal al-Din Rumi pernah mengumpamakan makrifat sebagai mutiara di dalam kerang yang berada di dasar laut karena keindahannya yang membuat banyak orang menyukainya. Menurut Rumi makrifat tidak dapat diperoleh secara inderawi, karena hal itu sama saja dengan mencari-cari mutiara yang berada di dasar laut dengan hanya datang dan memandangi laut dari darat. Sedangkan makrifat juga tidak bisa diperoleh melalui penggalian nalar, karena hal demikian sama saja dengan menimba laut untuk mendapatkan mutiara itu sendiri. Agar bisa mendapatkan mutiara makrifat itu, maka dibutuhkan penyelam yang ulung dan beruntung, yakni seorang mursyid yang berpengalaman. Rumi mengatakan butuh pada penyelam yang ulung dan beruntung karena pencapaian itu bergantung pada kemurahan Tuhan. Karena tidak semua kerang yang ada di laut mengandung mutiara yang didamba. Menyelam di sini diartikan sebagai menyelami lubuk atau dasar hati kita yang dalam. Karena laut itu begitu dalam, maka dibutuhkan penyelam mursyid yang benar-benar professional dalam teknik penyelaman. Cara menyelam inilah yang kita sebut dengan metode intuitif. INTEGRASI ANTARA SYARIโ€™AT, TAREKAT DAN HAKIKAT Dalam pemaparan ini penulis hanya akan membahas relasi antara syariat, tarekat dan hakikat secara sepintas karena keterbatasan pemahaman yang penulis miliki. Barangkali kebanyakan orang berpikir bahwa Syariat berbeda dengan Tarekat, dan Tarekat berbeda dengan Hakikat. Mereka membayangkan bahwa ada perbedaan yang pasti yang melekat pada setiap level nya, kemudian mereka melekatkan hal-hal tertentu pada masing-masingnya yang mana pengatribusian itu tidaklah tepat, khususnya bagi kelompok sufi.[28] Adapun miskonsepsi ini disebabkan oleh kurangnya pengetahuan mereka akan kondisi-kondisi spiritual yang beragam various spiritual states pada setiap levelnya dan juga kekurang pemahaman mereka akan keimanan dan prinsip-prinsip mereka sendiri. Apa yang harus diklarifikasi adalah bahwa Syariโ€™at, Tarekat maupun hakikat merupakan sinonim bagi kebenaran yang satu meskipun istilahnya berbeda-beda. Sesungguhnya pada setiap 3 level itu adalah merupakan prasyarat bagi level yang lainnya. Dan keseluruhannya satu sama lain saling terkoneksi. Adapun penjelasannya yang lebih lebar akan dikupas berdasarkan pada pandangan Sayyid Haydar Amuli mengenai koneksi antara 3 level ini. Hal yang pertama-tama mesti kita ketahui adalah bahwa ketiga nama tersebut Syariat, Tarekat maupun Hakikat merupakan aspek-aspek dari satu realitas. Yang kedua, meskipun ketiganya berasal dari realitas yang satu, tapi sangat perlu kita ketahui bahwa orang-orang hakikat lebih tinggi dari orang-orang tarekat, demikian pula orang-orang tarekat lebih tinggi dari orang-orang syariโ€™at,[29] dan tak ada penyimpangan apapun yang ditemukan dalam tingkatan tersebut. Sekedar menyebutkan kembali bahwa Syariโ€™at adalah nama dari jalan yang diberikan Tuhan yang sudah ada sebelum kehidupan manusia di dunia ini. Syariโ€™at meliputi ushul al-din dan furuโ€™ al-din, juga meliputi kewajiban-kewajiban dan petunjuk-petunjuk yang mengakui adanya tingkatan tertentu akan pilihan manusia dari segi metode atau waktu mereka dalam menjalani kewajiban-kewajiban mereka. Pun meliputi seluruh tindakan-tindakan yang paling baik di hadapan Tuhan. Sedangkan tarekat adalah jalan dari kebijaksanaan tertinggi. Jalan dari tindakan yang paling baik dan paling meyakinkan. Dengan demikian, jalan apapun yang mengantarkan manusia kepada yang terbaik dan paling meyakinkan dalam perkataan maupun tindakan, dalam karakternya yang ia peroleh, ataupun kondisi-kondisi states yang ia alami, maka disebut dengan tarekat. Hakikat adalah afirmasi akan eksistensi wujud, baik melalui penyingkapan dan penyaksian substansinya, atau dengan mengalami keadaan spiritual, atau mengafirmasi akan Ketunggalan Tuhan. Dengan demikian, Sayyid Haydar Amuli dalam Jamiโ€™ al-Asrar hendak mengatakan bahwa makna dari Syariโ€™at adalah bahwa kamu beribadah kepada-Nya, dan Tarekat adalah kamu mencapai kehadiran-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu menyaksikan-Nya.[30] Adapun Zybura menggambarkan relasi antar ketiga level dalam bagan berikut, Sudah terang dikatakan bahwa syariโ€™at berarti kamu dipertahankan dan terpelihara dalam eksistensi oleh perintah-Nya, tarekat adalah bahwa kamu melaksanakan perintah-Nya, dan Hakikat adalah bahwa kamu ada oleh dan dalam diri-Nya. Ketiga level ini tercakup oleh syariโ€™at Islam dan sama sekali tidak di luar darinya. Allah telah mengacu kepada tiga level ini dengan frase ilm al-yaqin Kepastian Pengetahuan, ayn al-yaqin kepastian penglihatan atau pengalaman, dan haqq al-yaqin kepastian kebenaran realitas. Terdapat level-level manusia yang berbeda, yakni ada yang awam dan yang elit, dan yang elit dari yang elit Diumpamakan sebagai Permulaan Beginning, antara Intermediate, Akhir Final. Dengan demikian, Syariโ€™at adalah nama dari hukum Tuhan dan pola perilaku Nabi, dan juga merupakan permulaan. Tarekat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan intermediate dan hakikat dengan nama dan pengertiannya mengindikasikan tahapan akhir. Tak ada lagi tingkatan yang ada di luar dari ketiga level ini. Bagaimanapun, Syariโ€™at itu mungkin meskipun tanpa tarekat, akan tetapi tarekat tidak akan mungkin jika tanpa syariโ€™at; demikian pula, tarekat itu mungkin tanpa hakikat, tapi hakikat tanpa tarekat itu tidak mungkin. Hal ini karena setiap level itu adalah penyempurna bagi yang lainnya. Oleh karena itu, meskipun tidak terdapat kontradiksi antara tiga level tersebut, namun kesempurnaan dari Syariโ€™at hanya mungkin diperoleh melalui tarekat dan begitu pula dengan tarekat yang hanya mungkin didapatkan kesempurnaannya melalui hakikat. Deskripsi bahwa tiap level itu tidak kontradiksi dijelaskan oleh Sayyid Haidar Amuli sebagai berikut Para ahli syariโ€™at dianalogikan sebagai para Fuqahaโ€™ serta kondisi-kondisi mereka. Para ahli tarekat dianalogikan sebagai para sarjana dan filosof beserta stasion-stasion mereka. Orang-orang Hakikat dianalogikan sebagai sufi/gnostik, beserta stasion-stasion mereka.[31] Dalam kaitannya dengan penjelasan di atas, maka kesempurnaan dari kesempurnaan tergabung secara bersamaan dalam ketiga level. Karena jumlah dari dua hal, atau dua keadaan ketika digabungkan bersama sudah pasti lebih baik dan lebih sempurna dari pada yang dua ketika dalam keadaan terpisah. Oleh karena itu, orang-orang hakikat lebih superior dalam hubungannya dengan orang-orang syariโ€™at dan tarekat.[32] BAB III PENUTUP KESIMPULAN Dari uraian singkat di atas pemakalah menyimpulkan bahwa antara syariat, tarekat, makrifat dan hakikat tidak bisa dipisahkan. Syariat adalah bentuk lahir dari hakikat dan hakikat adalah bentuk batin dari syariat. Syariat adalah landasan awal menuju hakikat dan penyingkapan hakikat tidak menggugurkan syariat, bahkan menguatkan kebenaran syariat. Jika bertentangan maka penyingkapan tersebut diragukan, yang boleh jadi itu adalah kerjaan setan. Untuk sampai pada hakikat, maka dibutuhkan metode dan disiplin diri yang aturan dasarnya sudah ditentukan oleh syariat. Proses menuju realitas sejati hakikat inilah yang disebut tarekat. Ketika selubung hijab terbuka maka tampaklah realitas sejati, maka saat itu pula penempuh jalan spiritual memperoleh makrifat. Sebagai penutup kami nukilkan sebuah hadis yang dinukil oleh Syaikh Sayyid Haidar Amuli. Rasulullah SAW bersabda, โ€œSyariat adalah ucapanku, tarekat adalah perilakuku, hakikat adalah halku, makrifat adalah modalku, akal adalah pilar agamaku, cinta adalah dasarku, kerinduan adalah tungganganku, rasa takut adalah sahabat karibku, ketabahan adalah senjataku, ilmu adalah teman seperjalananku, tawakal adalah pakaianku, qanaโ€™ah adalah harta simpananku, kejujuran adalah tempat persinggahanku, yakin adalah tempat kembaliku, dan kefakiran adalah kebanggaanku. Karena semua itu, aku memiliki keunggulan atas seluruh nabi.โ€[33] [1] Arif adalah istilah yang digunakan bagi orang yang telah mencapai maโ€™rifah hakiki. Pembahasan mengenai maโ€™rifah hakiki akan dibahas di dalam makalah pada bab berikutnya. [2] Pernyataan ini didapatkan dari potongan tulisan yang berjudul Islamic Mysticism 1 Question and Answer mengenai Prinsip-prinsip Mistisisme Teoritis. Tulisan ini merupakan bahan kuliah the study of Comparative Mysticism yang dibimbing oleh Dr. Sayyed Mohsen Miri. Beliau mengatakan bahwa fondasi dasar Islam adalah rukun Islam yang menjadi prinsip-prinsip dasar agama ushuluddin, sementara dalam mencapai tujuan tertinggi dalam beragama adalah dengan melalui pengetahuan dan aksi dalam akar-akar agama ushul dan cabang-cabangnya furuโ€™. Adapun yang ushul berfungsi untuk mensucikan kehidupan batin, sementara yang furuโ€™ untuk mensucikan kehidupan lahir. Maka siapapun yang memiliki keinginan untuk mensucikan diri secara lahir maupun bathin, maka harus mendirikan ushul dan furuโ€™ dalam kerangka tiga level dari Syariโ€™at, Tarekat dan Hakikat. [22] Al-Ghazali dan al-Qushairi berbeda pendapat mengenai urutan manakah yang lebih dahulu antara makrifat dan mahabbah. Al-Ghazali berpendapat bahwa kita tidak akan mampu mencintai Tuhan tanpa mengenal Tuhan terlebih dahulu, sehingga menurut al-Ghazali urutan makrifat ada di bawah mahabbah. Sementara al-Qushairi berpandangan bahwa karena kecintaan pada Allah maka melahirkan pengetahuan hakiki Ilahi Makrifat, sehingga menurut pandangan ini, Makrifat menjadi tujuan akhir dan tujuan tertinggi di atas mahabbah. Adapun pengetahuan penulis hanya terbatas pada pemaparan mengenai perbedaan ini. [31] Sayyid Haydar Amuli. Inner Secrets of the Path, Dorset Element Books, 1989, hal. 39. [32] Ibid., hal. 36. [33] Yatsribi, Agama & Irfan Wahdat al-Wuju dalam Ontologi dan Antropologi, serta Bahasa Agama. Diterj. Muhammad Syamsul Arif. Jakarta Sadra Press, 2011, hal. 37 Disclaimer Tulisan dari berbagai sumber, bukan karya saya semata.

Trilogitasawuf tingkatan penting dalam oleh spiritual. REPUBLIKA.CO.ID, JAKARTA -- Apakah yang dimaksud dengan trilogi tasawuf? Menurut Sayid Bakari, trilogi tasawuf merupakan kumpulan tingkatan penting dalam olah spiritual seorang salik. Ia menyebutkan, sedikitnya ada tiga tahapan dalam dunia tasawuf yang harus dilalui oleh para salik.

Jakarta Apa itu makrifat? Memahami makrifat adalah bagian dari pengetahuan. Kamus Besar Bahasa Indonesia KBBI menjelaskan pengertian makrifat adalah bagian dari tingkat penyerahan diri kepada Tuhan, yang naik setingkat demi setingkat sehingga sampai ke tingkat keyakinan yang kuat. Pengertian Istihsan adalah Upaya Menetapkan Hukum, Ini Pendapat Ulama dan Macamnya Tasawuf Adalah Ilmu Penting dalam Islam, Kenali Sejarah dan Prinsipnya Sufi adalah Ahli Ilmu Tasawuf, Pahami Pengertian, Sejarah, dan Prinsipnya Bagaimana Islam memandang tentang makrifat dan kepada siapa saja makrifat itu melekat? Orang yang memahami tentang makrifat adalah arif bijaksana, cerdik dan pandai, atau berilmu. Tidak sembarangan orang bisa memahami tentang makrifat. Makrifat adalah ilmu tasawuf untuk memahami lebih dekat tentang Tuhannya. Dalam buku berjudul Akhlak Tasawuf oleh Abuddin Nata, pengertian makrifat adalah upaya penghayatan kepada Allah SWT makrifatullah menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf. Itu pengertian singkat tentang makrifat. Berikut ulas lebih mendalam tentang pengertian makrifat, tanda, dan macam-macamnya, Rabu 12/1/2022.Masjid Jami Al-Islam mulai didirikan tahun 1770 oleh bangsawan ulama dari Minangkabau, Sultan Raja Burhanuddin. Tempat ibadah ini terletak di Jalan KS Tubun Nomor 61 Jakarta Pusat, merupakan saksi perjuangan Islam di Al-Quran. Sumber pixabayDalam Kamus al-Munawwir oleh Ahmad Warson Munawwir, pengertian makrifat adalah berasal dari kata `arafa, yuโ€™rifu, irfan, memiliki arti mengetahui atau mengenal. Orang yang memahami tentang makrifat adalah arif bijaksana, cerdik dan pandai, atau berilmu. Dalam Islam, makrifat adalah ilmu tasawuf untuk memahami lebih dekat tentang Tuhannya. Dalam buku berjudul Akhlak Tasawuf oleh Abuddin Nata, pengertian makrifat adalah upaya penghayatan kepada Allah SWT makrifatullah menjadi tujuan utama dan sekaligus menjadi inti ajaran tasawuf. Tidak sembarangan orang bisa memahami tentang makrifat. Dijelaskan lebih mendalam, makrifat adalah pengetahuan yang objeknya bukan bersifat eksoteris zahiri, tetapi lebih mendalam terhadap peekanan esoteris batiniyyah dengan memahami rahasia-Nya. Pemahaman makrifat adalah berwujud penghayatan atau pengalaman jiwa. Pengetahuan makrifat adalah lebih tinggi nilai hakikatnya dari yang biasa didapat orang-orang pada umumnya dan didalamnya tidak terdapat keraguan sedikitpun. Itulah pengertian dan pemahaman makrifat yang perlu MakrifatIlustrasi Al-Qur'an. Credit tanda seseorang mendapat makrifat? Dalam buku berjudul Rahasia Shalatnya Orang-Orang Makrifat oleh Imam al-Ghazali, dijelaskan makrifatullah adalah pengetahuan yang di dalam hati tidak memiliki keraguan terhadap zat dan sifat Allah SWT. Tanda makrifat adalah bisa berwujud ketika seorang hamba meyakini seyakin-yakinnya bahwa Allah SWT itu wujud, Esa, zat yang Maha Agung, berdiri sendiri, dan tidak ada satupun yang bisa menyerupainya. Meyakini sepenuhnya, Allah SWT hidup, Maha Mengetahui, Maha Kuasa, Maha Mendengar, dan Maha Melihat dengan segala sifat-Nya. Dalam buku berjudul Risalah Sufi al-Qusyayri oleh Abdul Karim ibn Hawazin al-Qusyairi, menjelaskan salah satu tanda makrifat adalah tercapainya rasa ketentraman dalam hati, semakin orang bertambah makrifatnya maka akan semakin bertambah ketentramannya. Apa yang diketahuinya dari pengalaman itu, memberi ketenangan hati. โ€œIngatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula mereka bersedih hati,โ€ QS. Yunus 62. Hal yang sama dijelaskan oleh Harun Nasution melansir kajian teori penelitian yang diterbitkan Universitas Islam Negeri Walisongo, pada Rabu 12/1/2022 orang dengan kemakrifatan memiliki tanda sebagai berikut 1. Tanda makrifat adalah bagi orang arif mereka bangga dalam kepapaannya, apabila disebut nama Allah SWT dia bangga. Apabila disebut nama dirinya dia merasa miskin. 2. Tanda makrifat adalah jika mata yang terdapat dalam hati terbuka, mata kepalanya akan tertutup, dan saat itu yang dilihatnya hanya Allah SWT. 3. Tanda makrifat adalah memahami bahwa makrifat merupakan cermin, jika seorang arif melihat ke cermin maka yang dilihatnya hanyalah Allah SWT. 4. Tanda makrifat adalah semua yang dilihat orang arif baik waktu tidur maupun saat terjaga hanyalah Allah SWT. 5. Tanda makrifat adalah seandainya makrifat berupa bentuk materi, semua orang yang melihat padanya akan mati karena tak tahan melihat betapa sangat luar biasa cantik serta indahnya, dan semua cahaya akan dikalahkan dengan cahaya keindahan yang sangat gemilang MakrifatIlustrasi Al-Qurโ€™an. Credit tiga macam makrifat yang bisa dipahami untuk mengenal lebih dekat dengan Allah SWT. Dalam buku berjudul Tasawuf dari Sufisme Klasik ke Neo Sufisme oleh A Rivay Siregar, Zu al-Nun al-Misri membagi makrifat menjadi tiga. Apa saja? 1. Makrifat al-Tauhid Awam Ini sebagai makrifatnya orang awam, yaitu makrifat yang diperoleh kaum awam dalam mengenal Allah SWT. Melalui perantara syahadat, tanpa disertai dengan argumentasi. Makrifat jenis inilah yang pada umumya dimiliki oleh orang muslim. Orang awam mempunyai sifat lekas percaya dan menurut, mudah mempercayai kabar berita yang dibawa oleh orang yang dipercayainya dengan tanpa difikirkan secara mendalam. 2. Makrifat al-Burhan wa al-Istidlal Khas Ini merupakan makrifatnya mutakalimin dan filsuf metode akal budi, yaitu makrifat tentang Allah SWT melalui pemikiran dan pembuktian akal. Pemahaman yang bersifat rasional melalui berpikir spekulatif. Makrifat jenis kedua ini banyak dimiliki oleh kaum ilmuan, filsuf, sastrawan, dan termasuk dalam golongan orang-orang khas. Golongan ini memiliki ketajaman intelektual, sehingga akan meneliti, memerikasa membandingkan dengan segenap kekuatan akalnya. 3. Makrifat Hakiki khawas al-khawas Ini merupakan makrifat Waliyullah, yaitu makrifat tentang Allah SWT melalui sifat dan ke-Esa-an-Nya, diperoleh melalui hati nuraninya. Makrifat jenis ketiga inilah yang tertinggi, karena makrifat ini diperoleh tidak hanya melalui belajar, usaha dan pembuktian. Melainkan anugerah dari Allah SWT kepada orang-orang sufi atau auliyaโ€™ yang ikhlas dalam beribadah dan mencintai Allah SWT. * Fakta atau Hoaks? Untuk mengetahui kebenaran informasi yang beredar, silakan WhatsApp ke nomor Cek Fakta 0811 9787 670 hanya dengan ketik kata kunci yang diinginkan.
๏ปฟAsalUsul Diri (Kejadian Diri) Adapun kemudian dari pada itu diketahui olehmu hai thalib, bahwasannya tiada sempurna bagi seseorang mengenal dirinya, jika tidak ada tahu akan asalnya diri (kejadian diri) dan mengetahui akan yang mula-mula dijadikan Allah Subhanahu wata'ala, seperti sembahyang mula-mula dijadikan Allah.
ArticlePDF Available Abstractp>Hakikat ibadah haji pada dasarnya adalah suatu tindak mujahadah upaya jiwa yang sungguh-sungguh untuk memeperoleh kesadaran musyahadah penyaksian. Yakni proses kegigihan seorang hamba mengunjungi Baitullah sebagai sarana bertemu liqaโ€™ dengan Tuhan. Ibadah Haji adalah simbol kepulangan manusia kepada Tuhan yang Maha Mutlak. Oleh karena itu, niatkan haji hanya semata-mata karena Allah Swt. Pakailah pakain kejujuran dan buang jauh-jauh sifat keangkuhan, kebanggaan dan semua atribut label yang biasa melekat pada diri. Manusia harus menjadikannya titik orientasinya hanya kepada Allah QS. Al-Anโ€™am162- 163, sebagaimana yang digambarkan ketika sedang thawaf. Bahwa kita bagian dari seluruh jagad raya yang selalu tunduk dan patuh kepada Tuhan. Sekaligus gambaran akan larut dan leburnya manusia dalam hadirat Ilahi al-fanaโ€™fi Allah . Saat menyembelih kurban niatkan untuk menyembelih โ€œnafsu kebinatanganโ€ yang ada dalam diri. Sifat egoisme, dehumanisme, sifat kerakusan, keserakahan, ketamakan dan sifat-sifat buruk lainnya. Keberhasilan ibadah haji bukan dilihat dari berapa kalinya seseorang menunaikannya. Akan tetapi lebih ditentukan oleh kesadaran musyahadahnya kepada Tuhan. Karena musyahadah inilah yang akan membentuk visi kemanusiaan, keadilan dan solidaritas sosial. Kesadaran yang demikian akan membentuk manusia yang arif . Yakni manusia yang mampu memberikan kesejukan, kecintaan, kebenaran dan keadilan di muka bumi sehingga mampu membersihkan dari unsur-unsur duniawi dan membangunnya di atas batin yang tulus dan suci. Dengan demikian, keadilan kejujuran dan kemanusiaan sejati akan mudah tersemai di bumi. atpun selain daripada Allah, agar mereka Mahsyar adalah sebuah padang yang sangat panas dan menyengat, di mana manusia ditimpa perasaan resah dan gelisah, karena akan ditimbang kadar amal perbuatannya. Bagi orang yang timbangan amalnya buruk, mereka berharap bisa hidup kembali ke dunia untuk bersedekah dan beramal shaleh QS. Al-Mukminun[23] 99 - 106.๎†พ๎ˆผ๎†ท๎ˆฝ๎†ด๎ˆพ๎‡ฃ๎†พ๎ˆผ๎…ป๎€ƒ๎ˆผ๎‡ž๎ˆฝ๎†€๎€ƒ๎ˆบ๎‡€๎ˆผ๎†ต๎ˆพ๎†ด๎ˆผ๎…ผ๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ท๎‡†๎…ฟ๎ˆพ๎ˆ˜ ๎‚‹๎€ƒ ๎‡†๎‡พ ๎ˆผ ๎…ผ ๎‚‹ ๎ˆฝ๎‡ ๎‰€๎…ผ๎ˆผ๎‡๎ˆผ๎…ฏ๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ต๎†ธ๎ˆพ๎…บ๎€ƒ๎†พ๎ˆน ๎ˆพ๎†‘๎†พ ๎ˆผ๎‡ง๎€ƒ ๎ˆฝ๎‡š๎ˆผ๎†ต๎‰€๎…ธ๎ˆผ๎ˆ–๎€ƒ๎‡ ๎†ฆ๎†ด๎ˆผ๎†ฏ๎ˆผ๎…ฝ ๎‚•๎ˆ๎ˆ๎‚™๎€ƒ๎ˆพ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ๎†ฏ ๎ˆพ๎…ฑ๎‰€๎ˆค๎ˆš๎€ƒ ๎†ฆ๎ˆ›๎ˆผ๎ˆค๎€ƒ๎ˆผ๎ˆฒ๎†พ๎ˆผ๎…ป๎€ƒ ๎ˆฝ๎ˆ๎‰€๎‡ž๎ˆผ ๎‰€๎†“๎ˆš๎€ƒ๎ˆฝ๎‡› ๎ˆฝ๎†€๎ˆผ๎‡‹๎ˆผ๎…ฒ๎ˆผ๎ˆ–๎€ƒ๎ˆผ๎ˆ”๎†พ ๎ˆผ๎…ฑ๎€ƒ๎ˆš๎ˆผ๎ˆฃ๎ˆพ๎ˆ˜๎€ƒ ๎‰™๎‡Ÿ๎‡†๎†„๎ˆผ๎…ฒ ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚˜๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ๎…ฝ๎ˆผ๎ˆ”๎†พ ๎ˆผ๎†‰๎ˆผ๎†„๎ˆผ๎†๎€ƒ ๎ˆผ๎‡ฝ๎ˆผ๎ˆถ๎€ƒ๎ˆป๎‡Œ๎ˆพ๎†‚๎ˆผ๎…พ๎‰€๎‡ž๎ˆผ๎†๎€ƒ ๎‰€๎‡› ๎ˆฝ๎†ท๎ˆผ๎†ถ๎‰€๎†ธ๎ˆผ๎…ฎ๎€ƒ ๎ˆผ๎ˆ›๎†พ ๎ˆผ๎†‰๎…ฟ๎ˆผ๎ˆ–๎€ƒ ๎ˆผ๎‡พ๎ˆผ๎…บ๎€ƒ๎ˆพ๎ˆค๎‡ž ๎‡‡๎†ซ๎…ฝ๎ˆš๎€ƒ๎‡ ๎ˆพ๎…บ๎€ƒ๎ˆผ๎‡Š๎ˆพ๎†ฑ๎ˆฝ๎…ฟ๎€ƒ๎ˆš๎ˆผ๎ˆฃ๎ˆพ๎†ผ๎ˆผ๎…บ ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ง๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ๎†…๎ˆผ๎†ฏ๎‰€๎†ƒ๎ˆฝ๎†๎€ƒ๎ˆพ๎ˆณ๎‰€๎‡ž๎ˆผ๎†๎€ƒ ๎‰™๎‡Ÿ๎ˆผ๎…ฝ๎ˆพ๎ˆ˜๎€ƒ ๎ˆบ๎ˆก๎ˆผ๎ˆฅ๎‰€๎‡๎ˆผ๎…ฎ๎€ƒ๎‡› ๎ˆพ๎†ท๎ˆพ๎‡ฃ๎ˆš๎ˆผ๎ˆค๎ˆผ๎ˆถ๎€ƒ๎‡œ๎ˆพ๎…พ๎ˆผ๎ˆถ ๎‚จ ๎‡ ๎ˆพ๎…บ๎€ƒ ๎‰€๎‡›๎ˆฝ๎†ท ๎ˆผ๎†‰๎ˆฝ๎†ฑ๎…ฟ๎ˆผ๎ˆ–๎€ƒ๎ˆš๎ˆถ๎ˆฝ๎‡ ๎ˆพ๎†‰ ๎ˆผ๎…ณ๎€ƒ ๎ˆผ๎‡œ๎†๎ˆพ๎‡Œ๎‡†๎…ฝ๎ˆš๎€ƒ ๎ˆผ๎‡™๎ˆพ๎†‚๎‰™๎ˆฎ๎ˆผ๎…ฝ๎ˆถ๎ˆฝ๎†บ๎ˆผ๎…บ๎€ƒ๎ˆฝ๎‡๎ˆฝ๎†ถ๎†๎ˆพ๎ˆฅ๎ˆš๎ˆผ๎‡ž๎ˆผ๎…พ๎€ƒ ๎‰€๎‡ ๎‡†๎†ฑ๎ˆผ๎…ณ๎€ƒ ๎‰€๎‡œ๎ˆผ๎…พ๎ˆผ๎ˆถ ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ฎ๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž ๎ˆฝ๎†‡๎ˆพ๎†ด ๎‰€๎†ฑ๎ˆฝ ๎‰€๎†“๎ˆš๎€ƒ ๎ˆฝ๎‡›๎ˆฝ๎†€๎€ƒ ๎ˆผ๎‡™๎ˆพ๎†‚๎‰™๎ˆฎ๎ˆผ๎…ฝ๎ˆถ๎ˆฝ๎†บ๎ˆผ๎…บ๎€ƒ๎ˆฝ๎‡๎ˆฝ๎†ถ๎†๎ˆพ๎ˆฅ๎ˆš๎ˆผ๎‡ž๎ˆผ๎…พ๎€ƒ ๎‰€๎‡๎ˆผ๎†ด ๎ˆฝ๎†ฒ๎ˆผ๎…ฐ๎€ƒ๎‡œ ๎ˆผ๎†ต๎ˆผ๎…บ ๎†พ ๎ˆผ๎†ท๎ˆพ๎…ฎ๎€ƒ๎‡›๎ˆฝ๎†„๎†ถ ๎ˆฝ๎†ณ๎ˆผ๎…บ๎€ƒ ๎‰€๎‡› ๎ˆฝ๎†ณ๎‰€๎†ธ๎ˆผ๎†ด๎ˆผ๎…ธ๎€ƒ ๎‰™๎‡Ÿ๎ˆผ๎†ด๎‰€๎†„๎ˆฝ๎…ฏ๎€ƒ๎‡ ๎ˆพ๎…ฏ๎†พ๎ˆผ๎†๎ˆ•๎€ƒ ๎‰€๎‡œ ๎ˆฝ๎†ณ๎ˆผ๎…ฏ๎€ƒ ๎‰€๎‡›๎ˆผ๎…ฝ๎ˆผ๎ˆ–๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ฏ๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ ๎ˆพ๎†‘๎†พ๎ˆผ๎…ผ๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ท๎†ธ๎ˆพ๎…บ๎€ƒ ๎‰€๎‡›๎ˆฝ๎†€๎ˆผ๎ˆถ๎€ƒ๎ˆฝ๎ˆค๎†พ๎‡†๎†ถ๎…ฝ๎ˆš๎€ƒ๎ˆฝ๎‡›๎ˆฝ๎†ท๎ˆผ๎†€๎‡ž ๎ˆฝ๎…ฑ๎ˆฝ๎ˆถ๎€ƒ ๎ˆฝ๎‡‰๎ˆผ๎†ฑ๎‰€๎†ด๎ˆผ๎…ฏ ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ฉ๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎ˆถ๎ˆฝ๎‡‹๎ˆพ๎…ฝ๎†พ๎ˆผ๎…ณ๎€ƒ ๎ˆผ๎‡›๎‡†๎†ถ๎ˆผ๎†ท๎ˆผ๎…ฑ ๎‚˜๎‚ง๎‚ช๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎†ž๎†ฆ๎…ฝ๎†พ ๎ˆผ๎‡ค๎€ƒ๎†พ๎ˆน๎…พ๎‰€๎‡ž๎ˆผ๎…ป๎€ƒ๎†พ๎‡†๎†ถ๎ˆฝ๎…ผ๎ˆผ๎ˆถ๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ถ๎ˆฝ๎…ฏ๎ˆผ๎‡ž๎‰€๎†ฒ ๎ˆพ๎…ต๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ถ๎‰€๎†ธ๎ˆผ๎†ด๎ˆผ๎…ธ๎€ƒ ๎‰€๎‡๎ˆผ๎†ƒ๎ˆผ๎†ด๎ˆผ๎…น๎€ƒ๎†พ๎ˆผ๎†ถ๎‡†๎…ฎ๎ˆผ๎ˆค๎€ƒ๎ˆš๎‡ž๎ˆฝ๎…ฝ๎†พ๎ˆผ๎…ป ๎‚•๎‚˜๎‚ง๎‚ซ๎‚™๎€ƒ๎ˆผ๎ˆด๎‡ž๎ˆฝ๎…ฎ๎†ฆ๎‡Œ๎ˆผ๎†ณ๎ˆฝ๎…ฏ๎‚•Artinya Demikianlah Keadaan orang-orang ka๎‚ฟr itu, hingga apabila datang kematian kepada seseorang dari mereka, Dia berkata Ya Tuhanku kembalikanlah aku ke dunia ๎‚•๎‚™ Barangsiapa yang berat timbangan kebaikannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang dapat keberuntungan. ๎‚•๎‚™ dan Barangsiapa yang ringan timbangannya, Maka mereka Itulah orang-orang yang merugikan dirinya sendiri, mereka kekal di dalam neraka Jahannam. ๎‚•๎‚™ muka mereka dibakar api neraka, dan mereka di dalam neraka itu dalam keadaan cacat. ๎‚•๎‚™ mereka berkata Ya Tuhan Kami, Kami telah dikuasai oleh kejahatan Kami, dan adalah Kami orang-orang yang sesat.โ€œKetika engkau pergi ke Muzdalifah dan mencapai keinginanmu, apakah engkau sudah meniadakan semua hawa nafsumu?โ€ โ€œTidak.โ€ โ€œBerarti engkau tidak pernah pernah ke Muzdalifah.โ€ Saat di Muzdalifah redamlah semua hawa nafsumu. Akuilah segala kesalahan dan mendekatkan diri kepada Allah. Kemudian mengumpulkan senjata untuk menghadapi musuh utama manusia yaitu setan. โ€œSaat engkau datang ke Mina, apakah semua keinginanmu sirna?โ€ โ€œTidak.โ€ Berarti engkau belum pernah mengunjungi Mina.โ€ Saat di Mina lemparkan semua Istianah40Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016pikiran-pikiran kotor yang menyertai, segala nafsu badani, dan semua perbuatan tercela. Mina dalam bahasa Arab berarti cita-cita. Artinya, untuk menggapai cita-cita luhur dan derajat yang tinggi di sisi-Nya, manusia harus mampu mengendalikan hawa nafsunya agar tunduk dan patuh hanya kepada Allah. โ€œKemudian ketika engkau melempar jumrah, apakah engkau telah melemparkan pikiran-pikiran hawa nafsu yang menyertaimu?โ€ โ€œTidak.โ€ โ€œBerarti engkau belum melempar jumrahโ€. Lemparkan semua pikiran-pikiran kotor dan segala nafsu badani, kerendahan dan kekejian dan perbuatan tercela lainnya. Melempar jumrah merupakan lambang perlawanan manusia melawan terhadap penindasan dan kebiadaban. Di Mina manusia harus dapat membebaskan dirinya dari setiap perbudakan, membuang ketamakan, dan mengalahkan sifat kebinatangan. Ada tiga berhala yang harus dilawannya, yaitu berhala yang ada di Jumrah Ula, Jumrah Wustha, dan Jumrah Aqabah. Ketiga berhala itu melambangkan kekuatan-kekuatan setan yang setiap saat dapat menyerangnya. Adapun berhala yang pertama yang harus diserang adalah Firโ€™aun yang melambangkan penindasan, Qarun Kroesus adalah lambang kapitalisme dan Balโ€™am adalah lambang kemuna๎€Ÿkan. Shariati, 1995. hal. 124.โ€œKetika engkau sampai di tempat penyembelihan dan melakukan kurban, apakah engkau telah mengurbankan segala hawa nafsumu?โ€ โ€œTidak.โ€ โ€œBerarti engkau tidak berkurban.โ€ Saat menyembelih kurban sebagai simbolisasi jihad akbar, maka sembelihlah segala hawa nafsumu. Niatkan untuk menyembelih โ€œnafsu kebinatanganโ€ yang ada dalam diri. Sifat egoisme, dehumanisme, sifat kerakusan, keserakahan, ketamakan dan sifat-sifat buruk lainnya yang merupakan kumpulan sifat-sifat kebinatangan yang bersemayam di dalam diri. Menyembelih hawa nafsu berarti kembali berpihak kepada hati nurani yang diterangi cahaya keilahian. Sebab hawa nafsu merupakan pangkal lahirnya segala bentuk kesesatan dan kedhaliman QS. Yusuf [12] 53.๎‚ฉ๎‚ซ ๎‚ฐ๎‚ฑ๎€ˆ๎‚ฒ๎€๎‚ณ๎€Ÿ๎‚… ๎‚ฐ๎‚Œ๎‚…๎€ƒ๎€—๎€‚ ๎€›๎‚ด ๎€๎‚ ๎‚ต๎‚ถ ๎€›๎‚… ๎€Ÿ๎€ž๎€๎‚ท ๎‚‹ ๎‚ธ๎€๎‚ ๎‚ต๎‚ถ ๎€›๎‚… ๎€› ๎€๎‚น๎€›๎‚… ๎ฟ๎€›๎€„ ๎€Ÿ๎‚€๎€๎‚ท ๎€๎‚บ๎‚ธ๎€ƒ๎‚”๎‚ƒ๎‚œ๎‚ป๎€ ๎‚ต๎‚ก ๎‚ผ๎‚ฝ ๎€›๎‚…๎ฟ๎€Ÿ๎€„๎€›๎‚ž ๎€›๎‚€ ๎€›๎‚พ๎‚ฟ๎€‚๎€Ÿ๎ƒ€๎‚œ๎ƒ ๎€Ÿ๎€ž๎€๎‚ท ๎‚‹ ๎‚ธ ๎€๎ƒ‚๎‚ฟ๎€‚๎€›๎ƒƒ ๎€—๎ƒ„๎€๎‚ ๎€›๎‚ต๎€“ ๎€—๎‚“ ๎‚ธ๎ฟ ๎€›๎€„๎€›๎€˜ ๎ƒ…Artinya dan aku tidak membebaskan diriku dari kesalahan, karena Sesungguhnya nafsu itu selalu menyuruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha menundukkan hawa nafsu berarti menyadarkan kita akan keberpihakan kepada hati yang diterangi cahaya Ilahi. Dengan kesadaran demikian , orientasi hidup manusia akan selalu berpihak kepada kebenaran, keadilan dan kemanusiaan yang didasarkan pada semangat keikhlasan. Gusmian, 2006, hal. 128.Menurut para su๎€Ÿ, bahwa dalam diri manusia ada tiga kekuatan hawa nafsu. Pertama, kekuatan kebinatangan quwwatun bahimiyyah. Kekuatan ini mendorong manusia untuk mencari kepuasan lahiriyah dan kenikmatan sensual yang hedonis. Proses Haji dan Maknanya41 Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016Dan yang menjadi orentasi dalam hidupnya adalah hal-hal yang bersifat profan dan duniawi. Kedua, kekuatan binatang buas quwwatun sabiโ€™iyyah. Kekuatan ini memproduksi kesenangan-kesenangan untuk menyerang orang lain, mendengki, menghujat, memaki, dan menghancurkannya. Ketiga, kekuatan syetan quwwatun syaithaniyyah. Kekuatan ini mendorong manusia untuk membenarkan segala kejahatan yang ia lakukan dengan mengukuhkan berbagai logika dan dasar samping tiga kekuatan yang menopang hawa nafsu tersebut, Tuhan juga menganugerahkan dalam diri manusia kekuatan Tuhan quwwatun rabbaniyah. Kekuatan ini berasal dari percikan cahaya Tuhan Nur Ilahi yang terletak pada akal sehat. Jika kekuatan Tuhan ini mampu menakhlukkan tiga kekuatan hawa nafsu di atas, maka akan membentuk citra kemanusiaan yang sempurna. Sebaliknya, jika kekuatan hawa nafsu yang menjadi pemenang, maka yang akan terbentuk adalah individu yang secara ruhaniah tak lebih seperti bintang buas. Rakhmat, 1999. hal. 4.Ketiga kekuatan tersebut harus diperangi karena menyebabkan manusia kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya. Jika manusia kehilangan sifat-sifat kemanusiaannya, maka hati, mata dan telinga tidak dapat berfungsi sebagaimana mestinya QS. Al-Aโ€™raf [17] 179.๎€›๎€ž๎€ƒ ๎€—๎€‹ ๎€›๎ƒ† ๎‚ฟ๎‚ƒ๎€›๎ƒ‡ ๎€Ÿ๎‚€ ๎‚ฐ๎‚Œ๎€ž๎€™ ๎€›๎ƒˆ๎€™ ๎€›๎‚บ ๎‚ฟ๎ƒ‰๎€— ๎€›๎ƒŠ๎€›๎€˜ ๎ฟ ๎€›๎€๎‚ต๎ƒ‹ ๎€›๎€ž๎€˜ ๎€— ๎€๎ƒŒ๎‚ฟ๎‚›๎€—๎€Š ๎€Ÿ๎‚€ ๎‚ฐ๎‚ฑ๎€• ๎€—๎€ˆ๎ƒ ๎‚ฟ๎ƒŽ๎€›๎‚“ ๎‚ฟ๎ƒ‰๎€— ๎€›๎ƒŠ๎€›๎€˜ ๎ฟ๎€› ๎€๎‚ต๎ƒ‹ ๎€›๎€ž๎€ƒ๎€— ๎€›๎€”๎ƒ ๎‚ฟ๎€‚ ๎€›๎€Š ๎€Ÿ๎‚€ ๎‚ฐ๎‚Œ๎‚š๎€ƒ๎€—๎€ ๎€—๎ƒ ๎‚ฟ๎ƒ‰ ๎€— ๎€›๎ƒŠ ๎‚จ ๎€๎‚พ๎ƒ‘๎€๎ƒ’ ๎‚ฟ๎‚€๎ƒ ๎€›๎€˜ ๎€๎‚๎€…๎€๎‚ต ๎‚ฟ๎‚๎ƒ ๎€›๎€… ๎€๎‚๎€„ ๎€™๎‚ฐ๎ƒ“ ๎€ˆ๎€‡ ๎€๎ƒ” ๎€›๎ƒ• ๎€› ๎€Ÿ๎€•๎‚ฒ ๎€›๎ƒ–๎€›๎‚ต ๎€๎ƒ— ๎€›๎€•๎‚ก๎‚ฟ๎‚“๎€›๎‚… ๎€›๎ƒˆ ๎‚ฟ๎‚  ๎€›๎‚ข๎€›๎‚œ ๎€›๎€˜ ๎€›๎€ž๎€ƒ๎€—๎€๎€๎€‚๎‚ฃ๎€๎€›๎ƒ˜๎‚ฟ๎‚œ๎ƒ ๎€—๎€—๎ƒ™ ๎€›๎ƒš๎ƒ›๎ƒœ๎ƒ๎€๎€›๎‚œ๎€๎€˜๎€—๎‚“ ๎‚‹ ๎‚”๎ƒž๎€›๎ƒŸ๎€›๎‚“ ๎‚ฟ๎€—๎ƒ™ ๎‚ฟ๎ƒž๎€›๎ƒ  ๎€๎ƒ‰๎‚ฃ๎€๎€›๎€‹๎‚ฟ๎ƒƒ๎€›๎‚ž๎‚ฟ๎‚€๎‚ป๎€›๎ƒก ๎€›๎ƒš๎ƒ›๎ƒœ๎ƒ๎€๎€›๎‚œ๎€๎€˜๎€—๎‚“ ๎‚‹ ๎‚ธ๎ฟ๎€›๎€ ๎‚ต๎ƒ‹ Artinya dan Sesungguhnya Kami jadikan untuk isi neraka Jahannam kebanyakan dari jin dan manusia, mereka mempunyai hati, tetapi tidak dipergunakannya untuk memahami ayat-ayat Allah dan mereka mempunyai mata tetapi tidak dipergunakannya untuk melihat tanda-tanda kekuasaan Allah, dan mereka mempunyai telinga tetapi tidak dipergunakannya untuk mendengar ayat-ayat Allah. mereka itu sebagai binatang ternak, bahkan mereka lebih sesat lagi. mereka Itulah orang-orang yang menyembelih kurban, sesungguhnya kita disadarkan kembali untuk selalu membangkitkan Quwwatu Rabbaniyyah. Artinya bahwa yang harus disembelih dan dikurbankan hakikatnya tidak hanya hewan ternak. Kambing, sapi, onta dan binatang ternak lainnya hanyalah simbol dari obyek penyembelihan kurban. Dengan merobohkan hawa nafsu, maka akan tampak keindahan Allah, dan makin besar kerinduan kepada-Nya, maka akan semakin dekat dia di adalah simbol totalisan penyerahan diri, sebagai upaya mendekatkan diri kepada Tuhan yang diiringi dengan sikap pasrah. Dengan melakukan ibadah haji mestinya memberikan kesadaran bahwa keimanan sejati dibuktikan dengan kesediaan dalam melakukan pengorbanan dengan menyembelih โ€œnafsu kebinatanganโ€. Istianah42Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016โ€œKetika engkau berlari antara Shafa dan Marwa, apakah engkau telah mencapai peringkat kesucian dan kebajikan?โ€ โ€œTidak.โ€ โ€œBerarti engkau tidak saโ€™i.โ€ Saโ€™i merupakan rekonstruksi peristiwa Siti Hajar mencari air dari bukit Shafa menuju Marwa. Saโ€™i yang arti har๎€Ÿyahnya adalah kesucian dan ketegaran. Ketika berdiri di bukit Shafa, sucikan ruh dan batinmu untuk menemui Tuhan pada hari pertemuan dengan-Nya dan menempatkan diri pada pengawasan-Nya dengan membersihkan perilaku di Marwa. Perjalanan saโ€™i sebanyak tujuh kali yang diawali dari bukit Shafa dan di akhiri di bukit Marwa melambangkan bahwa manusia dalam mencapai kehidupan harus melalui usaha dengan penuh kesucian dan ketegaran. Hasil usaha manusia akan diperoleh dengan baik melalui usaha dan anugerah Allah, sebagaimana yang dialami Hajar bersama puteranya Ismaโ€™il. Hajar adalah teladan bagi manusia, kepasrahan dan kepatuhannya yang sangat teguh yang disandarkan kepada cinta. Karena โ€œcintaโ€ kepada Allah, Hajar pasrah kepada kehendak-Nya yang mutlak. Shariati, 1995. hal. 47Demikian pula dengan saโ€™i yang merupakan simbol perjuangan yaitu sikap optimis dan dinamis dalam hidup. Kemudian berakhir di Marwa yang berarti idealnya manusia harus bersikap menghargai, bermurah hati dan saling memaa๎€›an. Shihab, 2001, hal. 216. Kemudian dilanjutkan dengan mencukur rambut. Waktu mencukur rambut, cukurlah aib-aibmu lahir batin. Ritual ini disebut tahallul Al-Fath [48] 27. ๎‚จ ๎€›๎€ž๎€ƒ๎€—๎€š๎ฟ ๎€›๎€•๎€›๎€”๎ƒข ๎€›๎‚€ ๎€›๎€•๎€ˆ๎ƒฃ ๎€ ๎€๎‚๎ƒŒ ๎€›๎‚ข ๎€—๎€„๎€›๎€˜ ๎€ ๎€—๎ƒค ๎€›๎ƒฅ๎€˜ ๎€—๎‚บ๎€—๎‚… ๎€›๎€• ๎€ˆ๎ƒ ๎€๎‚ข๎€๎‚๎€ ๎€› ๎€—๎ƒฆ ๎€›๎€• ๎€ˆ๎ƒ ๎€๎ƒ€ ๎€๎€„๎ƒง ๎€— ๎€Ÿ๎ƒจ๎€™ ๎€›๎‚บ๎ฟ ๎€›๎ƒฉ ๎€๎€ž๎€๎‚ท ๎€›๎ƒช๎€™ ๎€›๎‚‰ ๎€› ๎€๎‚๎€™ ๎€›๎‚  ๎€๎ƒซ ๎€๎‚ƒ๎€› ๎€๎ƒฌ๎€™ ๎€Ÿ๎€…๎€—๎€ ๎€—๎€† ๎€๎‚ ๎€›๎‚ฅ ๎€›๎‚œ ๎‚จ ๎€๎‚๎ƒญ ๎€› ๎€๎‚ ๎€๎‚ต๎‚ก ๎€›๎€ˆ๎‚ก ๎€๎ƒฎ ๎‚”๎‚‰๎‚œ๎€™ ๎€— ๎€›๎ƒฏ๎€ƒ ๎€—๎ƒฅ๎€›๎‚… ๎€— ๎€Ÿ๎ƒจ๎€™ ๎€›๎‚‚ ๎€›๎‚  ๎€›๎ƒฐ ๎€๎‚ ๎€›๎‚ข๎€›๎‚œ๎ฟ๎ƒ“๎‚›๎€Š ๎€๎‚‰ ๎€›๎ƒ ๎ฟ ๎ƒ“๎ƒฑ๎€๎‚ฅ ๎€›๎€š ๎€›๎ƒš๎€๎‚œ ๎‚ฃ๎€›๎ƒˆ ๎€๎€ž๎€˜ ๎€—๎€– ๎€๎€… ๎€๎€„ ๎€›๎ƒž ๎€›๎€‹๎€›๎‚ต ๎€›๎€•๎ƒฒ ๎€™๎€ƒ ๎€— ๎€›๎€Œ ๎€๎€‹ ๎€›๎€ ๎€ ๎€›๎ƒณ ๎ฟ ๎€›๎€„ ๎€› ๎€๎ƒด ๎€›๎€‹ ๎€›๎€šArtinyaSesungguhnya Allah akan membuktikan kepada Rasul-Nya, tentang kebenaran mimpinya dengan sebenarnya yaitu bahwa Sesungguhnya kamu pasti akan memasuki Masjidil haram, insya Allah dalam Keadaan aman, dengan mencukur rambut kepala dan mengguntingnya, sedang kamu tidak merasa takut. Maka Allah mengetahui apa yang tiada kamu ketahui dan Dia memberikan sebelum itu kemenangan yang selesai ritual inilah, manusia dituntut untuk menutup mencukur aib-aibnya masa lalunya dengan membuka lembaran kehidupan baru yang lebih baik sesuai dengan tuntunan Allah. Kalau belum melakukan prosesi seperti yang dicontohkan tersebut di atas, jangan-jangan benar apa yang dikatakan oleh penyair Persia Nasher Khosrow, โ€œSesungguhnya engkau belum menunaikan ibadah haji, engkau belum taat kepada Allah.โ€ Shihab, 2001, hal. 217.Pada hakikatnya ibadah haji merupakan suatu tindak mujahadah upaya jiwa yang sungguh-sungguh untuk memeperoleh kesadaran musyahadah penyaksian. Yakni proses kegigihan seorang hamba mengunjungi Baitullah sebagai sarana dan upaya bertemu liqaโ€™ dengan Tuhan. Mujahadah sebagai sarana penghubung seorang hamba untuk bertemu dengan Tuhan. Berpakaian ihram, thawaf, saโ€™i Proses Haji dan Maknanya43 Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016dan melempar jumrah adalah sebagai sarana yang mengantarkan seorang hamba menuju Tuhannya. Sedangkan musyahadah sebagai titik orientasi dari segala prosesi tersebut, yakni tercapainya kondisi percintaan hubb antara hamba dengan Sang Khalik. Ketika musyahadah tercapai, maka yang terlihat di segala penjuru yang ada adalah โ€œwajahโ€ Tuhan. Dalam perspektif su๎€Ÿ kekuatan ke-aku-an akan lebur dalam ke-Maha-hadir-an Tuhan. Simbol-simbol tidak lagi menjadi penting dan puji-pujian manusia tidak lagi bermakna. Maka tujuan esensial haji bukanlah mengunjungi Kaโ€™bah, tetapi memperoleh musyahadah sebagaimana yang dikatakan oleh para su๎€Ÿ. Dalam pandangan kaum su๎€Ÿ, boleh jadi ada yang melihat kaโ€™bah, wukuf, saโ€™i dan sebagainya namun tidak mencapai makna haji. Yang sama Tuhan di Makkah, bagaikan berkunjung ke rumah yang tidak berpenghuni. Dan yang tidak berkunjung ke rumah Tuhan, tetapi merasakan kehadiran-Nya, maka Tuhan telah mengunjungi rumahnya. Shihab, 2001, hal. 212-213.Menunaikan ibadah haji tidak cukup dicapai hanya dengan pergi ke Makkah. Namun aksi-aksi yang memberikan makna dan manfaat praktis bagi kehidupan umat manusia jauh lebih penting. Jika ada orang yang berkali-kali menunaikan ibadah haji ke Makkah, tetapi dalam dirinya tidak terjadi proses transformasi nilai-nilai religius artinya ia belum menunaikan panggilan Tuhan. Proses mujahadahnya ke Mekkah belum memberikan bekas sedikitpun dalam perilaku kehidupannya. Di sinilah perlu digaris bawahi bahwa keberhasilan ibadah haji bukan dilihat dari berapa kalinya seseorang menunaikannya dan bukan pula simbol atau gelar haji atau hajjah yang disandangnya, namun ditentukan oleh kesadaran musyahadahnya kepada Tuhan. Karena musyahadah inilah yang akan membentuk visi kemanusiaan, keadilan dan solidaritas sosial. Dengan melakukan ibadah haji mestinya mampu membersihkan dari unsur-unsur duniawi dan membangunnya di atas batin yang tulus. Haji yang demikianlah yang pantas mendapat gelar haji yang mabrur, haji yang berhasil melakukan musyahadah dengan Tuhan dan mampu memberikan kebaikaan birr, menaburkan kedamaian di muka bumi. Maka pantaslah surga sebagai makna prosesi haji yang demikian indah. Haji merupakan kumpulan simbol-simbol yang maknanya sangat dalam. Mestinya sebagai tamu Allah perlu menghayati makna-makna terdalamnya. Sehingga ibadahnya tidak hanya sekedar menggugurkan kewajiban dan bahkan dianggap sebagai ibadah paripurna. Makna-makna prosesi haji perlu dihayati dan diamalkan secara baik dan benar. Dengan demikian akan mengantarkannya menjadi manusia yang mampu keluar dari hegemoni kepentingan hawa nafsu yang cenderung menjauhkan diri dari Allah. Sehingga mampu memberikan kebaikaan birr, menaburkan kedamaian di muka bumi. Istianah44Esoterik Jurnal Akhlak dan Tasawuf Volume 2 Nomor 1 2016ReferensiAl-Qurโ€™an al-KarimGhafur, Waryono Abdul, 2005, Tafsir Sosial Mendialogkan Teks dengan Konteks, Yogyakarta eLSAQ Islah, 2006, Surat Cinta al-Ghazali Nasihat-nasihat Pencerah Hati, Bandung Nurcholis, 1997, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Jakarta ParamadinaMaktabah SyamelaRakhmat, Jalaluddin, 1999, Meraih Cinta Ilahi Pencerahan Su๎€Ÿstik, Bandung PT Remaja Rosdakarya Shihab, M. Quraish Sihab, 1999, Membumikan al-Qurโ€™an, Bandug 2001, Lentera Hati Kisah dan Hikmah Kehidupan, Bandung Mizan. Shariati, Ali, 1995, Haji, Bandung Penerbit Muhammad, 2005, TaSawuf Transformatif, Sekarjalak. diakses tanggal 31 Agustus 2016 diakses tanggal 31 Agustus 2016 ... c. Thawaf, adalah mengelilingi Ka'bah yang berputar dengan berlawanan arah jarum jam. Thawaf dimulai di Hajar Aswad atau garis yang sejajar dengan Hajar Aswad [5]. d. ...Eka Fatra Arif HidayatullahRohman DijayaNuril Lutvi AzizahHajj is a special worship, which is a dream and obligation for Muslims in the world to perform it, for those who are physically and materially capable. An introduction to the pilgrimage has been obtained since the 3rd grade of Elementary School SD. The long process of the pilgrimage with various pillars and provisions contained in the procedures for its implementation often raises the disinterest of students in learning to understand and study the pilgrimage more deeply. To achieve the desired competence, many learning media have been developed, one of which is Augmented Reality AR technology. Augmented Reality AR is a technology that allows you to integrate 3D objects into a real environment. Based on this problem, the author makes an application about the introduction and pillars of the pilgrimage based on Augmented Reality using the Markerless method. Making applications using Blender software as a modeler and Unity 3D as an application maker. It is hoped that this application can introduce Augmented Reality into the world of education, and help students, especially elementary school children, get to know the pillars of Hajj better.... Experts disseminate health advice. e. Directions to and from home in a safe manner Istianah, 2017 The communication system related to services carried out in the implementation of the Hajj is in accordance with the Law of the Republic of Indonesia No. 8 of 2019 concerning the Implementation of the Hajj and Umrah Worship, which states that one of the objectives of organizing the Hajj and Umrah is to provide guidance, service, and protection to Hajj and Umrah pilgrims. Umrah pilgrims so that they can perform their worship in accordance with Shari'a law. ...Ahmad Tamrin Sikumbang Syukur KholilRubino RubinoFarhan IndraThis article discusses the role of communication in attracting Hajj pilgrims to North Sumatra. This article examines the steps taken by the North Sumatra Province Ministry of Religion to implement a communication system in terms of services and pilgrim protection guarantees. This article's research employs a descriptive method with a qualitative approach. Interviews were conducted with several informants who were considered qualified to answer this topic within the Ministry of Religion of North Sumatra, including the Jemaah Haji from North Sumatra. Literature studies and documentation are two other methods for gathering data. Data processing and analysis techniques were applied in three stages data reduction, data presentation, and conclusion drawing. According to the findings of this study, the Ministry of Religion has ensured a fair, professional, and accountable implementation of the Hajj by prioritizing the interests of the congregation, and general and special services for disabled people. Meanwhile, both domestically and in Saudi Arabia, coaching takes the form of practice. Furthermore, the Ministry of Religion has put legal safeguards in place to ensure the safety of Hajj pilgrims.... Furthermore, the essence of the Hajj pilgrimage is basically an act of mujahadah an earnest effort of the soul to gain awareness of musyaadah witness, which is the process of perseverance of a servant visiting Baitullah the house of God as a means of meeting liqa' with God. Hajj is a symbol of a person's return to God the Absolute Istianah, 2017. Thus, religion as a fact and history has a symbolic and sociological dimension as an abstract domain structure independent of space and time Zainuddin, 2013. ... Mustaqim PabbajahM TaufiqHidayat PabbajahZainal SaidThis study discusses the contestation of Islamic identity and local traditions of the Bugis-Makassar people in socio-religious life. Tradition contains a belief with form and practices that can still be traced to the present. In this case, the identity of the hajj pilgrimage attached to Muslims has been adapted to the Bawakaraeng Hajj community in the South Sulawesi region. The current research employed a qualitative descriptive approach and field-based data collection techniques by conducting observations and interviews with key informants about the Bawakaraeng community. It was found that the Bugis-Makassar practice of carrying out a series of rituals on the summit of Mount Bawakaraeng is an old tradition indicating a contestation between Islamic identity and local traditions. The term Hajj, which is attached to the Bawakaraeng pilgrimage, is a media construct, alluding to the mainstream Hajj, due to the strong influence of Islamization in South Sulawesi. Contestation takes place in three forms. First, mild contestation that shows religion and tradition accept and complement each other. Second, open contestation that distinguishes religious practices and traditions. Third, contestation that seeks to impose influence upon one another - a frontal conflict between religion and local traditions. This paper suggests that the study of Islam and culture in Indonesia, as a multicultural nation, still needs to be explored contextually and comprehensively as an ever-changing social MadjidMadjid, Nurcholis, 1997, Perjalanan Religius Umrah dan Haji, Jakarta Paramadina Maktabah SyamelaM Quraish ShihabSihabShihab, M. Quraish Sihab, 1999, Membumikan al-Qur' an, Bandug Mizan.
ILMUKHODAM adalah ilmu berhubungan lansung dengan Khodam, Makhluq Allah penghuni alam gaib ilmu ini berguna untuk-khodam pendamping-membangkitkan ilmu bathin-membangkitkan ilmu tenaga dalam-membangkitkan ilmu kharomah-pagar diri dan keselamatan Syarat kirimkan nama ,tanggal lahir/weton , foto kalau ada To Authors List Khodam pendamping ini kental dengan kekuatan khususnya, misal khodam
TAREKAT SYARIAT, HAKIKAT DAN MAKRIFAT. Adapun agama Islam versi kalangan pengikut tasawwuf, maka ia terbagi menjadi tiga yaitu syariat, tarekat dan hakikat. Istilah arekat juga menjadi nama lain dari aliran tasawuf. Berikut pengertian syariat, tarekat dan haqiqat versi pengikut tasawwuf.
HAKIKATIBADAH HAJI Salah satu pesan penting Ibadah haji adalah memotivasi dan melatih kita untuk memperkuat ukhuwah sesama muslim, berkumpulnya umat Islam dari seluruh penjuru bumi di satu tempat, Ka'bah, Arafah, Muzdalifah dan Mina dengan pakaian ihram yang berwana sama putih, adalah pelajaran dan pelatihan ukhuwah, bahwa kita adalah sama di hadapan Allah, tidak ada perbedaan []
Dalamalam hakikat , alam.. ada juga orang-orang tua kita yang membunyikan zikir-zikir tertentu ketika masuk atau keluarnya nafas mereka.Ilmu ini tersangat rahsia dan jika kita hendak mempelajarinya, carilah guru yang benar-benar tahu tentang ilmu ini. cara berdzikir nafas. lakukan sebagai berikut, c8sbBM.
  • prr8tabj68.pages.dev/120
  • prr8tabj68.pages.dev/364
  • prr8tabj68.pages.dev/66
  • prr8tabj68.pages.dev/399
  • prr8tabj68.pages.dev/331
  • prr8tabj68.pages.dev/223
  • prr8tabj68.pages.dev/329
  • prr8tabj68.pages.dev/12
  • prr8tabj68.pages.dev/52
  • hakikat haji menurut ilmu makrifat